Home » , , » PEMILIHAN REKTOR UNIMA DAN DEMOKRASI FEODALISTIK

PEMILIHAN REKTOR UNIMA DAN DEMOKRASI FEODALISTIK

Universitas Negeri Manado adalah salah satu Perguruan Tinggi popular yang terletak di Bukit Tonsaru Kecamatan Tondano Selatan, kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Kampus yang sejuk dihimpit oleh pepohonan rindang menyajikan kenyamanan dan ketenangan dalam melakukan proses belajar mengajar. Dan memang pepohonan dibiarkan berhimpitan karena kampus ini tercatat mempunyai area yang terluas (kurang-lebih 350 Ha). Tercatat ribuan putra-putri dari dari berbagai penjuru belahan nusantara Indonesia pernah dan sedang menuntut ilmu di kampus ini.
Masyarakat seputaran kampus juga sangat ramah dan kooperatif mendukung semua kegiatan kampus ini, dari penyediaan penginapan, transportasi sampai pada penyediaan kebutuhan sehari-hari para pencari ilmu di Unima.
Keharmonisan kehidupan kampus Unima ini terguncang dengan kabar politis tentang pe-non-katif-an Rektor Unima Prof. Philoteus Tuerah dari jabatan Rektor oleh Menristek Dikti Mohamad Nazir terkait pembukaan kelas jarak jauh di Papua dan juga membatalkan semua tahapan Pemilihan Rektor yang telah dilaksanakan.
Harian kompas 21 June 2016 Hal. 12 merilis; Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir membatalkan hasil pemilihan rektor Universitas Negeri Manado (Unima), Sulawesi Utara, dengan alasan calon terpilih bermasalah. Surat Menristek menyebutkan, rektor terpilih, Prof. Harold Lumapow terlibat pembukaan kelas jauh S-2 Unima di Nabire, Papua Barat. Karena itu, pemilihan rektor harus diulang. Tak hanya itu, Prof Harold juga mendapat sanksi berupa pembebasan tugas jabatan fungsional sebagai dosen. Menristek Dikti Muhmmad Nasir mengungkapkan, hasil pemilihan rektor Unima yang dimenangi oleh Harold dibatalkan karena rektor terpilih tidak memenuhi syarat. Rektor terpilih yang tadinya Pembantu Rektor I telah dibebastugaskan dari jabatan fungsional sebagai dosen. Dengan demikian, Harold bukan dosen lagi, melainkan PNS biasa. Padahal, syarat untuk menjadi rektor adalah memiliki jabatan fungsional lektor kepala atau guru besar. Menurut Nasir, pada awalnya, ketika berlangsung pemilihan rektor, pihaknya tidak melihat ada masalah. Namun, kemudian ada laporan masyarakat. Setelah dicek Harold telah melanggar undang-undang ketika menjabat Pembantu Rektor pertama.
Bersamaan dengan keputusan itu, Menteri mengangkat Pelaksana Harian untuk mengisi kekosongan jabatan, mengatasi masalah dan melaksanakan pemilihan Rektor Ulang. Kemudian ditunjuklah PLH Prof. Dr. Jamal Wiwoho yang adalah Irjen di Kemenristek Dikti. Awalnya terjadi perdebatan sengit dikalangan akademisi dan aktivis Kampus Unima. Banyak yang beranggapan penunjukan PLH ini bertentangan dengan Permen No 1 Tahun 2005. Pada pasal 11 Peraturan itu menyebutkan Pelaksana Tugas diangkat dari salah satu Pembantu Rektor Untuk meneruskan sisa jabatan. Dilain pihak, Menteri tetap pada keputusannya. Kedatangan PLH diwarnai dengan Penolakan oleh kelompok yang tidak setuju dan penyambutan oleh kelompok yang setuju. Kedua kelompok ekstrim ini kemudian saling melontarkan argumentasi dalam perdebatan di media social, media masa dan media elektronik. Perdebatan terus berlanjut walau PLH Prof Jamal Wiwoho sudah menempati Ruangan Nomor 1 Unima. Perdebatan semakin meruncing sehingga civitas academika unima terpolarisasi dalam kubu-kubuan pertarungan yang tak berujung. Media juga tak kalah sengit memberitakan persoalan-persoalan Unima ke semua pembacanya dengan gaya bahasa yang menggemparkan.
Debat ya debat, but the show must going on…. PLH Rektor Unima, Prof Jamal Wiwoho kemudian menetapkan Prof. Dr. A Gerald Senduk, M.Pd sebagai ketua Panitia Pilrek. Kritik dan komentar sejenak terhenti, Prof Senduk didaulat sebagai Tokoh Senior untuk melakukan penyelamatan Lembaga Unima dari keterpurukan yang terjadi. Maka dimulailah babakan pemilihan Rector Unima yang ke II.
Sesuai Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dalam mengelola lembaganya, perguruan tinggi dibedakan menjadi 3, yaitu: Perguruan Tinggi Negeri (PTN), PTN Badan Hukum, dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS), Adapun tata cara pengelolaannya diatur dengan peraturan pemerintah Nomor 4 Tahun 2014, yang antara lain mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian pemimpin PTN. Sebagai pedoman lebih teknis pelaksanaan PP tersebut, Kementerian menerbitkan Peraturan MenristekDikti Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yang khusus mengatur PTN, dan Pasal 7 Ayat e poin (1) Permenristekdikti tersebut menyatakan “Menteri memiliki 35 persen hak suara dari total pemilih”. Kecuali untuk PTN baru, pemilihan dilakukan secara bertahap, melalui 4 tahapan, yaitu: tahap penjaringan bakal calon, penyaringan calon, pemilihan calon, dan pengangkatan. Tahapan ke 1 dan ke 2 dilakukan oleh Senat Perguruan Tinggi, sedangkan tahap ke 3 dilakukan secara berjenjang, yaitu putaran pertama untuk memilih 3 calon terbaik oleh Senat, yang kemudian dilanjutkan dengan pemilihan putaran kedua oleh Senat (65% suara), dan Menteri (35% suara).
Disinilah letak permasalahannya, yaitu apakah Menteri dalam menggunakan suaranya dilakukan secara objektif dan bijaksana? Faktor subjektif menteri dalam memberikan suaranya pastilah ada. Seorang calon yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan cenderung akan memperoleh suara yang lebih banyak bahkan bisa jadi hampir semua suara Menteri. Walaupun dari segi aturan tidak ada yang dilanggar. Banyak pihak yang merasa keberatan dan bahkan menyatakan pemilihan rektor ini seperti jaman feodal. Bukan masalah hak pemerintah atau menteri, tetapi kita harus melihat dari perspektif keefektifan organisasi. Organisasi akan berjalan dengan efektif apabila pemimpin organisasi didukung oleh anggota organisasi atau setidaknya mayoritas anggota organisasi. Secara rasional hak suara Pemerintah c.q. Menristekdikti yang 35% dapat dipahami, walaupun bisa jadi hanya sebuah pembenaran dan rasional yang dicari-cari.
Idealnya suara Menteri harus diberikan kepada minimal 2 calon secara proporsional. Lalu bagaimana kalau suara Menteri hanya untuk satu calon? Secara logika pasti tugas seorang Rektor dalam menjalankan organisasinya akan sangat berat, dan akan jauh dari organisasi yang sehat. Karena bagaimanapun dukungan anggota organisasi yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Senat hanya minimal. Artinya selain harus menjalankan tugas utama menjalankan tridharma, pasti akan ada "tugas tambahan" meyakinkan anggota Senat dan pendukungnya untuk bahu membahu menjalankan organisasi. Tentu Akan jadi masalah besar jika Rector terpilih tidak mendapatkan dukungan dari mayoritas anggota organisasi (dosen, pegawai, aktivis mahasiswa dan masyarakat) yang direpresentasikan oleh anggota senat. itulah sebabnya demokrasi yang agak feodalistik ini harus disempurnakan atau setidaknya diminimalisir dampak destruktifnya agar Rektor yang terpilih nanti bisa menjalankan roda organisasi Universitas Negeri Manado di Tondano dengan nyaman dan bahagia.

Facebook Comments
0 Bloger Comments